Mengintip Kampung Pisang

Mengintip Kampung Pisang

Sejumlah anak mengamati miniatur bangunan rumah di Kampung Pisang,Kelurahan Maccini Sombala, Makassar, 7 Oktober 2014. TEMPO/Asrul Firga Utama

TEMPO.CO , Makassar: Kampung Pisang, begitulah sebutan sebuah kawasan di Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, Makassar. Dulu, kawasan Kampung Pisang luas dan banyak ditumbuhi pohon pisang. Seiring dengan pesatnya pembangunan, kawasan ini kian menyempit, hanya tersisa 0,35 hektare atau 3.586 meter persegi. Kawasan inilah yang kemudian ditata oleh sejumlah komunitas.

Salah satunya adalah Arsitek Komunitas Makassar (Arkom). Mereka akan turut membuat maket Kampung Pisang menjadi nyata. Rumah-rumah tiruan berskala 1 : 100 itu berupa rumah panggung yang tertata mengikuti bentuk lahan di wilayah Kampung Pisang sebelah utara.

Koordinator Arkom, Muhammad Cora, mengatakan luas lahan tiap rumah berkisar 5 x 8 meter hingga 8 x 10 meter. “Rumah-rumah itu nantinya dibangun menggunakan sebagian material bekas dari rumah sebelumnya,” kata Cora di sela-sela peringatan Hari Habitat Dunia 2014, di Makassar, Selasa pekan lalu.

Sebuah maket dengan ukuran lebih besar tampak memiliki jendela di sisi depan dan samping. Dengan adanya jendela yang banyak dan besar itu, rumah terlihat lebih terbuka dan leluasa. Namun, Cora mengaku model ini tidak harus sama dengan rumah asli. Masih ada penyesuaian, misalnya, dengan material yang ada.

Dalam menata Kampung Pisang, Arkom memadukan kearifan lokal, teknologi informasi, ilmu tukang, ruang terbuka, dan aplikasi-aplikasi yang dapat dilakukan sendiri oleh warga. Selain mendesain hunian baru Kampung Pisang, Arkom turut menggalang penyadaran warga terhadap kampung layak huni dan rumah layak huni.

Cora menjelaskan kriteria kampung layak huni adalah terpenuhinya kebutuhan standar ruang gerak, pencahayaan, sirkulasi udara, dan interaksi antar-rumah. Aktivitas itu tidak bersilangan dengan aktivitas orang lain (tetangga).

Konsep Kampung Pisang, kata Cora, menggunakan metode partisipatif untuk pembangunan yang terpadu. “Artinya, fisik dan nonfisik sama-sama dibangun,” ujar lulusan Teknik Arsitektur Universitas Hasanuddin ini. Aspek nonfisik yang dia maksud adalah penguatan ekonomi warga untuk memenuhi kebutuhan fisik. Contohnya, mengajak warga menabung untuk membeli material rumah.

Arkom sendiri mulai ikut mengadvokasi kawasan Kampung Pisang sejak 2010. Selama empat tahun, komunitas profesional ini membantu warga secara sukarela, dari pemetaan hingga pembangunan rumah. Menurut Cora, sebagian warga sudah dua kali berpindah lahan. Selain Arkom, Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) sudah lebih dulu mengawal warga Kampung Pisang, yakni sejak 2005. KPRM inilah yang mengurusi pembangunan nonfisik, salah satunya lewat program menabung.

Koordinator KPRM, Nurlina, menjelaskan penggusuran terhadap warga Kampung Pisang sudah berlangsung sejak 2005. Dulunya, rumah-rumah warga saling berjauhan dan tersebar di lahan seluas kurang-lebih 7.000 meter persegi. Warga digusur oleh pengusaha pemilik tanah sehingga permukiman mereka dipadatkan pada satu titik.

Aktivis masyarakat miskin urban, Ari Ujianto, mengatakan Hari Habitat diperingati sejak 1985 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendorong pemenuhan hunian layak bagi masyarakat miskin. Kegiatan yang dilakukan di Kampung Pisang sesuai dengan tema Hari Habitat tahun ini, yakni “Suara dari Warga Miskin di Perkotaan”.

Selain Arkom, KPRM, dan masyarakat miskin urban, Jejaring Rakyat Miskin (Jerami) dari Jakarta, Lampung, Kendari, Parepare, dan Porong turut meramaikan kegiatan Hari Habitat itu. Hadir pula Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto dan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri.

REZKI ALVIONITASARI 


Di copas dari Mengintip Kampung Pisang

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar